Tempat Deang Namora putri Raja Silahisabungan bertenun.
Tempat ini merupakan tempat Namboru Parsadaan, Deang Namora di masa hidupnya untuk bertenun ulos dengan cara manual dan konvensional yang nantinya dikenakan oleh ke tujuh saudara laki-lakinya.
Perpisahan di Huta Lahi kurang memuaskan Deang Namora.
Sewaktu Raja Silahisabungan dan Siraja Tambun berangkat dari Huta Lahi, ia ikut
mengantar ketepi pantai. Rupanya Raja Silahisabungan membawa Siraja Tambun
ketuktuk Simartaja dan terus ke Nauli Basa untuk memperdalam ilmu Siraja
Tambun. Deang Namora terus mengikuti mereka sampai ke Nauli Basa, ayahnya
membujuk Deang Namora supaya kembali ke kampung Huta Lahi. Pada saat itulah
Deang Namora menangis bersenandung yang memilukan hati:” Amang Siraja ibotna,
marsirang ma hita ditano Nauli Basa, borhat ma damang tu tano Sibisa. Ahu do na
pagodang – godang damang marsiak bagi, sian dakdanak sahat tu doli – doli,
mulak ma ahu amang Siraja ibotna tu Huta Lahi, na boha do bagian ni Siboruadi?”
katanya sambil melangkah berat hati.
Karena lelahnya berjalan ke Silalahi disertai perasaan
sedih, Deang Namora duduk diatas batu melepaskan lelah sambil merenungi
perpisahananya dengan siraja Tambun. Pada waktu itu ibotona (saudaranya) sudah
mencari – cari Deang Namora. Mereka takut Deang Namora mandele ( putus asa)
akibat keberangkatan Siraja Tambun, sewaktu mereka menemukan Deang Namora duduk
– duduk diatas batu, lalu diajak supaya pulang kekampung. Tetapi Deang Namora
menjawab:” saya sudah merasa senang ditempat ini. Disinilah kalian bangun
undung – undungku ( pondok) tempat bertenun.”katanya. saudaranya membujuk dan
berkata :” pulanglah dulu kita, supaya dibangun pondokmu, baru bawalah
alat–alat tenunmu kemari,” kata saudaranya tanda setuju.
Setelah pondoknya dibangun, Deang Namora membawa alat
– alat tenunnya ketempat itu, yang kemudian disebut Batu Parnamoraan. Disitulah
Deang Namora tinggal sampai akhir hayatnya. Dan menjadi keramat yang berkuasa
di Tao Silalahi.
Tempat ini merupakan
tempat Namboru Parsadaan, Deang Namora
di masa hidupnya untuk bertenun ulos dengan cara manual dan konvensional yang
nantinya dikenakan oleh ke tujuh saudara laki-lakinya. Tempat ini dinamakan
Batu Partonunan Deang Namora.